Masyarakat Religius
Dianggap unik karena program ini tidak bisa
dijangkau dengan indra perasa sebagaimana program kesehatan gratis dan tidak
pula berkaitan dengan perut dan isinya alias ekonomi. Masyarakat religius lebih
identik dengan penekanan nilai-nilai moral, syariat, dan akidah yang menjadi
pondasi berdirinya sebuah tatanan kehidupan yang berbasis agama sebagaimana
yang telah dicontohkan pada era terbaik (khaerul
qurun) umat Islam.
Dalam
buku “Destiny Disrupted: A History of the World though Eyes, 2009,”
karya sejarawan muslim kontemporer Amerika, Tamin Ansary, menuturkan sedikit
gambaran tentang masyarakat religius yang dipelopori oleh Rasulullah SAW dan
dilanjutkan oleh para pemegang estafet khalifah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan
Ali.
Dikisahkan
pada zaman kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab terdapat seorang pengembara
muda yang ditangkap karena membunuh seorang lelaki tua. Anak lelaki korban
membawa pemuda itu ke hadapan Khalifah Umar. Sang pengembara mengakui
perbuatannya. Sebenarnya ada keadaan khusus yang meringankan dirinya namun ia
menolak untuk memohon itu: dia telah mengambil nyawa orang lain dengan paksa,
maka ia ingin mengorbankan dirinya. Namun dia mengajukan satu permintaan.
Bisakah eksekusi ditunda selama tiga hari agar dia dapat pulang ke rumah dan
membereskan sedikit urusan? Ada seorang anak yatim dalam pengasuhannya di sana,
dia telah mengubur warisan itu di tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun,
dan jika tidak menggalinya sebelum dia meninggal, anak itu tak akan memiliki
uang sepersen pun. Sungguh tidak adil jika anak itu menderita karena kejahatan
pengasuhnya.
“Jika
Anda membiarkan saya pergi hari ini, saya berjanji kan kembali tiga hari dari
sekarang dan menyerahkan diri untuk dieksekusi,” pinta sang pembunuh. “Ya,
baiklah. Tapi hanya jika Anda menyebut nama seseorang untuk bertindak sebagai
wakil Anda, seorang yang akan setuju untuk menanggung hukuman jika Anda tidak
datang kembali,” tegas Umar.
Hal
itu membingunkan bagi sang pengelana muda. Dia tidak punya teman atau kerabat
di wilayah itu. Orang asing mana yang akan cukup percaya kepadanya untuk
menanggung resiko menggantikannya?
Pada
saat itu, Abu Dzar, salah satu sahabat Nabi, menyatakan bahwa dia akan menjadi
wakil pemuda asing itu. Dengan jaminan Abu Dzar, pembunuh itu pun pergi. Tiga
hari kemudian dia tak kembali. Tidak ada yang terkejut, apalagi was-was, mereka
juga tak menangisi Abu Dzar yang malang, dengan setia ia meletakkan kepalanya
di atas kayu balok talenan. Algojo sedang meminyaki kapaknya ketika pemuda itu
datang berderap di atas kuda berdebu, penuh dengan peluh. “Saya mohon maaf,
mohon maaf, saya terlambat,” Ibahnya. “Tapi di sinilah saya sekarang. Mari kita
lanjutkan dengan eksekusi.” Desak sang pemuda.
Kerabat
korban pembunuhan (penuntut), sekarang berlutut memohon pada Umar. “Jangan
bunuh dia please! Bagaimana mungkin kita menjadi orang yang membuat
dunia berkata tidak ada pengampunan dalam Islam? “
Para
penonton yang berdatangan ingin menyaksikan eksekusi fenomenal itu, tercengan.
“Anda bebas. Anda benar-benar lolos. Tak seorang pun bisa menemukan Anda dan
membawa kembali. Kenapa Anda pulang?” Kata Umar. “Karena saya berkata akan
kembali, dan saya seorang muslim. bagaimana mungkin saya memberi dunia alasan
untuk mengatakan bahwa kaum muslim tidak lagi dapat memenuhi janji-janjinya?”
jawab pemuda itu.
Hadirin
berpaling kepada Abu Dzar. “Apakah engkau mengenal anak muda ini? Apakah engkau
tahu tentang karakter mulianya? Apakah karena itu engaku setuju dengan menjadi
wakilnya?
“Tidak!
Saya tidak pernah bertemu dia sebelumnya dalam hidup saya, tapi bagaimana bisa
saya menjadi orang yang membiarkan dunia mengatakan kaum muslim tidak lagi
berbalas kasih?” Kata Abu Dzar, “
Mencari Pemimpin Religius
Masyarakat
adalah kumpulan dari satuan individu yang membentuk koloni dalam sebuah teritorial
tertentu. Prilaku individu dari sebuah masyarakat sangat tergantung dengan
lingkungannya, jika berada dalam lingkungan yang menekankan pentingnya
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang didasari oleh agama, maka anggota
masyarakat tersebut akan berbuat sesuai norma-norma agama yang dapat diuji
kebenarannya dengan mutlak.
Agama
berfungsi sebagai tuntunan bagi segenap umat manusia agar dapat hidup teratur,
untuk itulah dalam ajaran agama terdapat perangkat-perangkat (syariat-aturan) yang
manjadi acuan bagi segenap pemeluknya agar tidak melenceng dari koridor kebenaran.
Ajaran-ajaran dalam Islam contohnya, sangat manusiawi dan kebenarannya tidak
dapat disangkal oleh siapa pun di muka bumi ini. Kita berbeda pandang worldview dengan para pengusung liberaslime bahwa agama
adalah biang kerok keonaran di tengah
masyarakat, menjadi pemicu kekerasan, agama telah tertuduh dan duduk dikursi
pesakitan. Intinya agama bagi kaum liberalisme telah menjadi motor penggerak
konflik sosial yang kerap terjadi di negara ini, dengan itu menurut mereka,
agama harus direduksi dari ruang publik.
Sejatinya
tidaklah demikian, konflik-konflik yang terjadi selama ini kerap timbul karena
ketidak-mampuan pemimpin kita membina masyarakat dan menjadi imam yang benar,
terdapat kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum, tidak adanya keadilan bagi
rakyat kecil, perampokan harta milik rakyat oleh para koruptor, hingga
ketidak-pekaan para perwakilan rakyat dalam menyuarakan kepentingan rakyat yang
diwakilinya. Semua itu terakumulasi, hingga menjadi pemantik api konflik.
Mengambil
contoh dari cerita di atas yang terkait dengan kejujuran. Andai saja sang
pembunuh ingin berbohong dan ingkar janji, tentu saja tak ada halangan baginya,
namun karena agama melarang hal tersebut, dan kelak akan dipertanggung-jawabkan
di hari pembalasan, untuk itulah sang pengelana tak mau mengingkari janjinya.
Tidak
ada satu ajaran dari agama mana pun –kecuali ajaran Syiah dengan taqiyah-nya yang menjadikan bohong
sebagai bagian dari agama [la dina liman
la taqiyata lahu]- yang membolehkan berbohong, hingga para pembohong sekali
pun tidak mau dibohongi, begitu juga mencuri atau korupsi. Sejatinya para
pencuri tak satu pun ingin agar barang curiannya kembali dicuri oleh orang
lain, sebagaimana para koruptor tak ada yang rela jika hasil korupsinya ada
yang merampok atau mencurinya.
Namun
membentuk karekter religius tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, butuh
waktu yang panjang, keteladanan dari para penganjur agama, guru, orang tua
hingga pemerintah. Di sinilah pentingnya menekankan agar selalu berbuat dengan
berlandaskan ilmu dan agama. Hal tersebut bisa dimulai dengan pembinaan sejak
dini, perlu ditanamkan pada generasi pelanjut bahwa berkakter baik dan taat
agama adalah suatu keniscayaan, di samping akan hidup lebih bermakna dan
bermanfaat, di akhirat akan mendapat reward
dari Allah berupa surga. Begitu pula sebaliknya, jika melanggar aturan agama,
akan menjadikan hidup seseorang terombang-ambing dalam ketidak-jelasan, dan
kelak di akhirat mendapat siksa. Contohnya adalah para koruptor yang mengambil
hak orang lain secara batil.
Wal hal, yang sangat
penting adalah adanya contoh dari para pemerintah yang bertindak sebagai imam,
agar rakyat sebagai makmun dapat mengikuti para imamnya. Jika imamnya tak bisa
jadi contoh pastinya masyarakat ibarat anak ayam
kehilangan induk. Bangsa ini sudah kehilangan tokoh-tokoh panutan yang bisa
menjadi imam, namun bukan bararti kita larut dalam keputus-asaan. Di zaman
demokrasi terbuka seperti saat ini, kita bisa memilih dan memilah mana
kira-kira calon pemimpin yang lebih minus rusaknya dan lebih baik karakternya.
Indikasinya? Cukup melihat track record-nya
selama ini, apakah dia termasuk religius atau tidak? Jika ia religious,
berarti akan ada harapan untuk mewujudkan masyarakat religius dambaan seluruh
umat beragama. Wallahu a’lam!
Ilham Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI
Makassar, Pengurus FUI dan BKPRMI, dan
Peneliti LPPI Indonesia Timur
Comments