Mengungkap Kebohongn Kang Jalal
Kejujuran
teramat penting dalam kehidupan. Jujur harus menjadi kebiasaan manusia,
terlebih mereka yang bertakwa dan menyebut dirinya kaum terdidik, intelektual,
dan cendekiawan. Namun ada saja di antara mereka yang menamakan diri di
golongan tersebut yang belum terbukti jujur
dalam penampilan diri menyandang gelar tertinggi dalam bidang akademik
namun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Salahsatu
fenomena yang mengusik kita adalah Bapak Jalaluddin Rakhmat (JR) yang di mana-mana
tertulis namanya sebagai doktor (DR) bahkan professor (Prof). Namun kami
menerima informasi akurat bahwa yang bersangkutan belum berhak menyandang Prof,
bahkan gelar doktornya pun masih dipertanyakan. “Bapak Jalaluddin Rakhmat belum
memiliki gelar Guru Besar di Unpad; untuk gelar Doktor (Dr), secara
administratif kami belum menerima ijazahnya.” Demikian surat klarifikasi rektor
Unpad Bandung, Prof. Ganjar Kurnia, no: 9586/UN6.RKT/KU/2012, tanggal 23 April
2012, perguruan tinggi di mana JR tercatat sebagai tenaga tetap.
Banyak
anggota masyarakat yang tidak menduga akan munculnya Surat Rektor Unpad Bandung
seperti di atas, karena JR sangat
masyhur dengan idenya ‘mendahulukan akhlak daripada fikih’ dan selama ini
sangat menarik dan meyakinkan dalam ceramah-ceramah dan tulisannya tentang
akhlak dan kejujuran.
Direktur
Iranian Corner Unhas yang juga pengurus inti IJABI Sulsel sangat memuji JR sebagai penggerak dan
pelopor mazhab akhlak dan cinta di Indonesia. Ia mengungkapkan kekagumannya
dalam sebuah tulisan yang dimuat oleh salah satu koran lokal di Makassar. “Isu
akhlak dan cinta untuk ukuran Indonesia, saya kira ulama dan cendekiawan yang
paling intens membicarakan dan membahasnya hanyalah Prof. Dr. KH. Jalaluddin
Rakhmat. Dia berhasil meyakinkan kita bahwa akhlak dan cinta adalah sesuatu
yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan pribadi, sosial, berbangsa dan
bernegara juga dalam beragama. Pada kedua institusi pendidikan, Muthahhari dan
ormas IJABI sangat jelas ambisi besar Kang Jalal untuk mewujudkan manusia
Indonesia yang tangguh, pada saat yang sama memiliki akhlak dan cinta yang
kuat.” (Harian Fajar, 28/2/2008).
Juga
direktur dan asdir I Pascasarjana UIN
Alauddin Makassar saat JR diterima sebagai mahasiswa by reseacrh oleh
PPs UIN Alauddin dengan bangga menyebut JR dengan gelar Prof. Dr., di mana-mana
dan dengan nada keras mengeritik orang-orang yang menolak program doktoral JR
di Perguruan Tinggi Islam kebanggaan orang Sulawesi tersebut.
Program
doktoral by research
yang ditempuh oleh JR di UIN Alauddin Makassar ini
telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Alasan golongan yang
menolak rencana program doktoral JR di UIN Alauddin ialah, JR adalah penganut dan penyebar ajaran Syiah
yang telah ditetapkan oleh MUI sebagai paham yang perlu diwaspadai kemungkinan
masuknya (di Indonesia), (Rekomendasi MUI, Maret 1984); sebagai paham yang
tidak diakui dan ditolak oleh mayoritas umat Islam Indonesia (Ahlussunnah wal
Jama’ah) (Fatwa MUI tentang nikah mut’ah, 25 Oktober 1997); sebagai paham yang
sesat dan menyesatkan (Fatwa MUI Jatim, 21 Januari 2012.
JR
juga telah berceramah dan banyak menulis
buku yang dipublikasikan yang isinya banyak
menghujat bahkan melaknat para sahabat Nabi saw seperti Umar ra meragukan
kenabian Rasulullah saw, para sahabat membantah perintah Nabi saw, para sahabat merubah-ubah agama, para sahabat murtad,
Aiysah ra bermuka hitam, sangat pencemburu serta suka membuat makar, Syiah melaknat orang yang dilaknat Fatimah ra
sedang yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar dan Umar ra.
Kemudian
JR juga telah terbukti banyak memanipulasi data-data yang ditulisnya. Seperti
Sufyan Ats Tsauri mudallis dan menulis dari para pendusta, padahal dalam
kitab aslinya sebagai tempat rujukannya tertulis: “Jangan perhatikan jika ada
yang mengatakan Sufyan Ats Tsauri mudallis dan menulis dari para
pendusta.”; As Sunh jauhnya puluhan kolometer, namun setelah
diklarifikasi kitab aslinya, ‘Fathul Bari’ ternyata hanya satu mil; Nabi saw
duduk di sebelah kanan Abu Bakar di saat beliau jadi Imam menjelang wafatnya
Rasulullah, padahal sebenarnya tidak ada kata ‘sebelah kanan’ pada hadis
Bukhari no: 664 sebagai sumber kutipan.
Prof.
Dr. Wahbah Az Zuhaily mengatakan, “Tidak boleh diterima persaksian orang yang
menampakkan sikap mencela-cela para salaf seperti Sahabat, tabi’in, dan tabi’
tabi’in karena telah nampak kefasikannya.” (al Fiqhul Islamiy wa Adillatuh,
1989, VI: 567).
Pendusta
adalah orang fasik dan pencela Sahabat adalah fasik, yang tidak dapat diterima
persaksiannya, bagaimana bisa diberi gelar doktor ilmu agama, yang akan
dipatuhi, dipanuti, dan diikuti bimbingannya.
Berkata
Anregurutta H. Sanusi Baco, Ketua MUI Sulsel. “Tidak boleh memberi gelar doktor
ilmu agama kepada orang yang meyakini dan menyebarkan pemahaman yang
menyimpang, sebagaimana tidak boleh menjual beras ketan kepada orang yang kita
tahu akan membuatnya menjadi minuman yang memabukkan. JR adalah ilmuan yang
tidak berakhlak karena menjelek-jelekkan para sahabat dan tabi’in, petinggi UIN
Alauddin Makassar adalah orang yang bijaksana dan berpengalaman, tentu tidak
akan memberikan gelar doktor ilmu agama yang merupakan pujian dan penghormatan,
serta pengakuan kepada orang yang demikian itu (JR).”
Seorang
ilmuan boleh saja salah atau keliru, namun cacat yang paling fatal ialah jika
sengaja berdusta. Begitu kata Prof. Baharun, Ketua Komisi Hukum dan
Perundang-undangan MUI Pusat. Dengan demikian UIN Alauddin Makassar telah
mempertaruhkan statutanya sebagai perguruan tinggi Islam pelopor keunggulan
akademik dan intelektual yang mengintegrasikan ilmu agama, menjunjung tinggi
akhlak mulia dan peradaban Islam, mengutamakan kejujuran dan melarang keras
penggunaan ijazah dan gelar aspal (asli tapi palsu), demi mempertaruhkan
kebijaksanaan dan kebebasan akademik untuk memberi gelar terhormat, doktor ilmu
agama Islam kepada JR yang bermasalah besar dalam pandangan statuta UIN
Alauddin Makassar.
Dalam
sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. “Jangan kamu mengambil ilmu
ini kecuali dari orang yang kamu terima persaksiannya”. JR tidak berhak
diterima persaksiannya karena ia pendusta dan mencela-cela para salaf,
sahabat dan tabi’in. Maka berarti ia tidak boleh diberi kesempatan untuk
mengajarkan ilmu Islam dengan gelar doktor by research. Wallahu A’lam!
(KH.M. Said Abd. Shamad, Lc. Ketua LPPI
Makassar & Anggota Komisi Dakwah MUI Makassar)
Comments