Jika Ulama Jadi Umara
Penghujung abad pertama hijriyah, dinasti Bani Umayyah mengalami ‘pembusukan’ internal di usianya yang ke-60 tahun. Seorang ulama yang telah menguasai seluruh ilmu-ilmu agama dari segenap ulama Madinah –sebagai syarat mutlak untuk menjadi seorang mujtahid –yang menjadi bagian dari dinasti tersebut tampil sebagai sang penyelamat. Ulama yang namanya terukir abadi karena kesuksesannya memimpin tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah Abdul Malik bin Marwan sebagai pemengang kekuasaan Umayyah
tutup usia, Umar bin Abdul Aziz terpilih secara aklamasi untuk menduduki
jabatan khalifah, hal tersebut sempat membuat dirinya galau, ia tak percaya
diri untuk bisa memimpin dinasti yang cakupan wilayah kekuasaannya membentang
dari Jazirah Arabia hingga ke gurun sahara Afrika. Selain itu, walau dia
memiliki track record yang baik, namun bagaimana pun dirinya adalah
tetap menjadi bagian dari keluarga istana yang memiliki prilaku korup, mewah,
dan boros.
Namun pilihan atas dirinya, bagi keluarga kerajaan adalah sebuah
keniscayaan, karena mereka melihat jika Umar adalah sosok yang paling pas
menduduki tampuk kepemimpinan ‘the right man on the right place’. Sesaat
setelah dilantik menjadi pemimpin, Umar berkata kepada Az-Zuhri, seorang ulama besar,
“Aku benar-benar takut pada neraka.” Ia sadar, tidak mungkin baginya melakukan
perbaikan dalam tataran negara kecuali jika ia berani memulai dari dirinya
sendiri dan keluarga.
Umar benar-benar mengamalkan hadis Nabi, “Ibda’ binafsik!
[Mulailah dari dirimu!]”. Reformasi pun bergulir, tak berapa lama setelah
dilantik, Umar memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya, baik
berupa uang maupun barang ke kas negara. Tak terkecuali pakaiannya yang mewah,
bahkan menolak untuk tinggal di istana dan tetap menempati rumah pribadinya
yang sederhana. Semenjak menjadi khalifah, dia tak pernah lagi tidur siang dan
mencicipi makanan lezat, akibatnya badan yang semula kekar berisi surut menjadi
kurus.
Selesai dengan dirinya, proses bersih-bersih pindah pada keluarga.
Ia berikan dua pilihan pada istrinya. “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta
pribadimu ke kas negara, atau kita cerai!” sang istri, Fatimah binti Abdul
Malik, memilih taat suami. Ada pun anak-anaknya; suatu ketika putra dan
putrinya sudah tidak tahan dengan prilaku ayahnya yang tidak pernah lagi
menyediakan makanan yang enak-enak sebagaimana sebelum jadi penguasa. Mendengar
hal itu, sang ayah justru menangis dan memberi dua pilihan kepada anaknya.
“Saya sediakan kalian makanan enak lagi lezat tapi kalian harus rela
menjebloskan ayahmu ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana
ini dan kita akan masuk surga bersama.” Anaknya memilih yang kedua.
Reformasi berlanjut ke istana dan segenap penghuninya. Ia
memerintahkan menjual seluruh barang-barang mewah yang ada di istana dan
mengembalikan harganya ke kas negara. Secara perlahan dan bertahap, Umar mulai mencabut
semua fasilitas kemewahan yang selama ini diberikan kepada keluarga istana.
Melihat tindakan Umar yang tak terbendung itu, pihak istana melakukan protes
keras, tapi ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’, begitulah kira-kira sikap
umar. Namun pihak istana tetap melakukan upaya-upaya perlawanan dan penekanan,
namun hasilnya tetap nihil. Hingga mereka mengutus seorang wanita tua, tak lain
adalah bibi Umar sendiri. Boleh jadi dia tegar dan keras kepala menghadapi
pihak istana, tapi tidak dengan ‘rengekan wanita tua’, begitu fikir mereka.
Tapi Umar sudah lebih dulu tau muslihat tersebut. Begitu sang bibi
memasuki rumahnya, beliau pun langsung mengambil uang logam dan sekarat daging,
lalu membakar uang logam di atas bara api untuk membakar sekarat daging di
atasnya. Setelah daging matang, Umar berkata pada bibinya. “Apakah bibi rela
menyaksikan saya dibakar dalam neraka sebagaimana daging ini hanya untuk
memuaskan keserakahan kalian? Berhentilah menekan atau merayu, sebab saya tak
akan pernah mundur dari jalan ini.”
Langkah pembersihan diri, keluarga, dan istana, telah meyakinkan
publik untuk melakukan reformasi dalam skala yang lebih luas, khususnya dalam
pembersihan KKN yang telah menggrogoti negara. Sang ulama sekaligus pemimpin
itu, telah menunjukkan tekadnya dalam memberikan keteladanan yang begitu memukau.
Nik Aziz dan Aziz Qahar
Sewaktu saya tinggal mengajar dan kuliah di Malaysia, sangat
mengagumi seorang ulama sekaligus politikus. Adalah Ustadz Nik Abdul Aziz yang akrab dipanggil Tuan
Guru, awal kekaguman saya bermula ketika membaca artikel berserinya dalam
Tabloid “Harakah Daily”, pada awalnya saya tak tau jika beliau seorang Menteri
Besar (Gubernur) negeri bagian Kelantan Malaysia. Isi artikelnya berkaitan
dengan ‘Sejarah Hidup Nabi Muhammad’ yang beliau tulis secara berseri selama
bertahun-tahun. Hingga kini, artikel tersebut telah dibukukan menjadi dua jilid
masing-masing dengan judul “Muhammad SAW Insan Teladan Sepanjang Zaman” dan “
Muhammad SAW Jejak Junjungan Mulia” masing-masing setebal 500 halaman lebih. Itu adalah satu-satunya sejarah hidup Rasulullah
yang tersusun dari kumpulan artikel seorang penulis. Tapi tak jarang pula ia
menurunkan artikel berupa ulasan terkait kebijkan pemerintahan Pusat Malaysia.
Ulama dan umara berwatak
lembut, bertubuh kecil, kurus, berjenggut, bermata bulat, berkulit sawo
matang dan berambut hitam campur uban itu adalah seorang penulis produktif,
hasil goresan penanya mencakup seluruh bidang dalam agama, mulai dari akidah,
fikih, tasawuf, tafsir, hingga sejarah. Beliau adalah ulama yang komplit dari
segi pengetahuan, sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Alumni Universitas Deoband India; Universitas Lahore Pakistan; dan magister
undang-undang Islam di Universitas
al-Azhar Mesir ini menguasai bahasa Inggris, Arab, Urdu,
Hindustan, Cina, Tamil, hingga Siam.
Sampai saat
ini, beliau telah menjadi umara –pemimpin—tertinggi di Kelantan selama lebih 20
tahun dan tak pernah ada masalah KKN yang muncul, rahasia utamanya adalah
memulai reformasi dari diri dan keluarganya, menjadi contoh bagi segenap
pemerintah dan rakyatnya. Beliau tidak
pernah menggunakan fasilitas yang disediakan sebagai seorang Menteri Besar
seperti kenderaan untuk keluarga, rumah, pembantu, perabot dan sejenisnya.
Beliau sering menekankan bahwa Menteri Besar tidak boleh korupsi kerana mereka
juga seorang manusia yang akan dihisab di akhirat kelak dan tidak ada bedanya
dengan manusia lain, tempatnya kalau bukan surga pasti neraka.
Dalam laman Wikipedia disebutkan bahwa Ustadz
Nik Aziz sentiasa dikenali sebagai seorang Menteri Besar yang paling zuhud dan
warak. Pada hampir setiap masa, beliau sentiasa dilihat dalam keadaan berjubah
dan berserban. Beliau mengaku salat dalam keadaan gelap apabila berada di dalam
kantornya kerana tidak mahu menggunakan pasilitas pemerintah untuk kepentingan
dirinya. Rumahnya pula hanyalah sebuah rumah kampung (kayu) biasa seperti yang
dimiliki oleh rakyat kebanyakan. Rumahnya tidak berpagar sama sekali dan tiada
pengawal (satpam) yang digaji untuk menjaganya.
Dituturkan bahwa suatu ketika, Jabatan Kerja Raya
(JKR) yang di Indonesia disebut Dinas Pekerjaan Umum (PU) mengerjakan jalanan
depan rumah sang Menteri Besar sehingga para pegawai lapangan JKR bermaksud
mengaspal halaman rumah mentri besarnya tanpa sepengetahuan empunya rumah.
Ketika kerjaan hendak dimulai Ustadz Nik Aziz menyaksikan itu, dengan tanpa basa
basi memerintahkan pihak JKR untuk menghentikan tindakan tersebut karena
kawasan rumahnya bukan bagian dari jalan raya dan merupakan milik pribadi. Pernah
juga seorang koleganya datang menghadap Tuan Guru, ketika hendak pulang, ia
bermaksud mengopi sebuah dokumen. Tuan Guru menyodorkan uang logam beberapa
keping agar dokumen tersebut dikopi di kantin. Namun temannya protes. “Kenapa
tidak dikopi di situ saja?” sambil menunjuk ke mesin foto kopi yang ada dalam
kantor sang Menteri Besar. Nik Aziz menjawab dengan menyatakan bahwa dokumen
yang akan dicopi itu adalah urusan pribadi, tak terkait dengan urusan dinas,
jadi baginya tak ada hak untuk menggunakan mesin foto kopi itu dalam urusan
pribadi. Tak berlebihan jika banyak yang memberinya julukan sebagai Umar bin
Abdul Aziz abad-21 karena tindakan-tindakannya banyak menyamai khalifah Bani
Umayyah yang menjatuhkan hukuman sangat keras bagi para pencela Ali bin Abi
Thalib itu.
Saya juga mengenal sosok Ustadz Aziz Qahhar, putra
seorang pemimpin fenomenal Abdul Qahhar Muzakkar. Cerita akan perjuangan,
kegigihan, dan kesederhanaan hingga kehebatan Qahhar Muzakkar telah saya dengar
dari orang-orang kampung di pedalaman Bone sejak masih duduk di bangku sekolah
dasar, dan berlanjut ke pondok pesantren karena kiyai saya pernah menjabat
sebagai Menteri dalam pemerintahan DI/TII Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Abdul
Qahhar Muzakkar.
Walau telah menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Ustadz Aziz tetaplah seorang ustadz, tak ada yang berubah dalam dirinya.
Dalam beberapa rapat terbatas yang pernah saya hadiri bersama dirinya,
beliaulah yang lebih duluan meminta untuk menghentikan rapat jika azan
berkumandang, dan segera bergegas ke masjid untuk menunaikan salat secara
berjamaah.
Dalam sebuah acara “Dialog Peradaban” 2012 lalu di
Gedung Training Centre UIN Alauddin Makassar. Dr. Adian Husaini menyatakan,
“Saya menghormati Ustadz Aziz bukan karena jabatannya sebagai anggota DPD
maupun selaku kandidat wakil gubernur, tetapi saya menghormati dirinya karena
keilmuan dan kemuliaan adabnya. Jika saya menghormati beliau karena jabatan
maka itu ada batasnya.” Demikian pengakuan seorang cendekiawan muda kontemporer
dan telah menghasilkan puluhan buku berbobot itu.
Dari latar belakang pendidikan Aziz Qahhar juga unik,
mendapatkan sarjana sebagai seorang insinyur peternakan di Universitas Sultan
Hasanuddin (Unhas) Makassar; magister dalam ilmu politik di Universitas
Indonesia (UI) Jakarta; serta kandidat doktor pemikiran Islam di Universitas
Ibnu Khaldum (UIKA) Bogor, namun dalam dua bidang keilmuan terakhirlah yang
kental mewarnai sosok sang ustadz.
Ceramah-ceramahnya juga sangat lembut, perkataan dan
tindakannya selalu seiring, salah seorang teman pernah berujar, jika gajinya
selaku anggota DPD lebih banyak disumbangkan ke pesantren. Hanya tidur di kursi
depan kamar yang telah disediakan oleh Pesantren Hidayatullah karena santri
masuk tidur di dalam kamarnya bila ia datang tak terduga di malam hari adalah
hal biasa. Seringkali menekankan bahwa dirinya maju menjadi calon wakil
gubernur karena permintaan dari tokoh-tokoh masyarakat terutama yang bergabung
dalam KPPSI.
Umar bin Abdul Aziz, Nik Abdul Aziz, dan Aziz Qahhar
Muzakkar adalah contoh bagi kita semua, jika seorang penganjur agama yang
bergelar ulama dan ustadz yang pada dasarnya mampu hidup dalam kemewahan karena
jabatan yang disandangnya memungkinkan dirinya bermewah-mewahan, namun mereka
tidak memilih itu. Hanya hidup sederhanya dan berbaur dengan rakyat umum, semua
didasari atas pemahaman bahwa apa yang diperbuat di dunia akan mengantarkan
pelakunya ke surga atau neraka. Wallahu a’lam!
Ilham Kadir,
Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar dan Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments