Islamisasi di Tanah Bone: Antara Kebenaran dan Harga Diri
Masyarakat Sulawesi Selatan yang didominasi oleh suku
Bugis dan Makassar adalah masyarakat yang adaptif, inovatif, dan kreatif hal
ini dapat dibuktikan dengan begitu cepatnya beradaptasi dengan budaya luar yang
lebih dulu maju dan berkembang, seperti India, Cina, Persia, Yunani, dan Arab. Salah
satu ciri khas bangsa yang maju adalah memiliki media untuk mengabadikan
peristiwa-peristiwa penting. Media yang dimaksud adalah “tulisan” yang dapat
mengabadikan peristiwa masa lampau untuk manjadi bukti sejarah yang paling autentik.
Salah satu peristiwa penting yang layak untuk dikonsumsi adalah paparan lontara
(kronik) dalam proses islamisasi di Tanah Bugis.
Dituliskan bahwa setelah daerah dan kerajaan-kerajaan
lain di Sulawesi Selatan memeluk agama Islam, maka Sultan Alauddin Awwalul
Islam adalah dai yang tak kenal lelah mengajak para raja-raja untuk memeluk
Islam, termasuk dalam Raja Bone, La Tenri
Ruwa (1607 – 1608) kakek Arung
Palakka dari putrinya We Tenri Sui’ yang
saat itu baru tiga bulan dilantik menjadi Raja Bone, ternyata beliau merespon
dengan sangat baik ajakan koleganya itu, meski pada saat itu tidak langsung
mengucapkan dua kalimat syahadat. La
Tenri Ruwa kembali ke Bone mengumpulkan rakyatnya dan berseru agar ajaran
agama Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan, tetapi sayang, niat baik
Sang Raja mendapat protes ketidak-setujuan dari para rakyatnya.
Beliau terus berusaha meyakinkan rakyatnya namun tetap
gagal maka ia pun mengumumkan dirinya mundur sebagai Raja dan diam seribu
bahasa. Rakyat bingung, dan merasa kehilangan, maka mereka mengirim utusan
untuk bertemu Sang Raja, utusan itu berkata, “Bukan kami yang tidak menyukai
puatta’, tapi puatta’lah yang tidak menyukai kami”. Raja La Tenri Ruwa kemudian menjawab, “Saya menerima ajakan dari
rekan kami Raja Gowa Sultan Alauddin bukan karena takut padanya, melainkan
karena saya meyakini kebenaran agama yang dibawanya, silahkan kalian berpegang
pada ajaran kalian yang menyesatkan itu”. Raja kemudian digantikan oleh La Tenri Pole Arung Timurung.
Pada awalnya Sultan Alauddin bertekad menyebarkan Islam
di Bone secara damai tanpa konfrontasi fisik, bahkan berniat mengutus Datuk
Ribandang ke Bone, namun selalu menemui kegagalan karena keengganan rakyat Bone
untuk memeluk Islam baik dari kalangan penguasa maupun masyarakat biasa. Maka
perang tak dapat dielakkan sebagai alternatif terakhir, perang ini pun menjadi
perang agama bagi raja kembar Gowa-Tallo dan harga diri bagi Raja Bone, perang
ini juga terkenal dengan istilah Buduk Sallanga, Musu’
Asselengeng alias “musuh
bebuyutan”.
Bone
akhirnya tak kuasa melawan gempuran dan akhirnya bertekuk lutut, kemudian rajanya La Tenri Pole pergi menghadap Sultan
Alauddin dan memeluk Islam bersama seluruh rakyatnya. Kemudian Sultan bertitah,
“Meskipun kalah perang tetapi karena Islam diterima baik di kerajaan Bone, maka
dibebaskan dari pampasang perang begitu pula semua
tawanan dibebaskan”. Mendengar titah Sultan itu maka rakyat Bone mulai
berduyung-duyung masuk agama Islam. La
Tenri Pole yang sudah memeluk Islam kemudian bergelar Sultan Abdullah,
setelah wafat sebagaimana wasiatnya agar digantikan oleh La Maddaremmeng Arung Timurung yang bergelar Sutan Muhammad Saleh
diangkat sebagai pelanjut.
Adapun La Tenri Ruwa yang sejak awal menerima
Islam tanpa paksaan, beliau
lebih dulu berangkat menjumpai raja Gowa-Tallo, kemudian
Sultan bertanya padanya, “Manakah daerah yang menjadi milik Puatta?” La Tenri Ruwa Menjawab, “Palakka, Pattiro,
dan Awangpone kepunyaan saya.” Mendengar jawaban itu Sultan lantas
mempersilahkan La Tenri Ruwa untuk
mengucapkan dua kalimat Syahadat dan disaksikan langsung oleh Datuk ri Bandang,
kemudian mendapat gelar Sultan Adam, selanjutnya baginda berguru pada Datuk ri
Bandang untuk memperdalam Islam, dan inilah penguasa sekaligus orang Bone yang
paling masyhur sebagai pemeluk agama Islam untuk pertama kalinya, bahkan Sultan
Adam lebih
memilih berdakwah ketimbang kembali menjadi raja di Bone, beliau memilih
menyebarkan agama Islam di daerah Bantaeng dan wafat di sana, lalu mendapat julukan La Tenri Ruwa Matinroe ri Bantaeng.
Tahun 1640 M. Arumpone La Maddaremmeng yang menggantikan La Tenri Pole yang bergelar Sultan
Abdullah pada tahun 1630 mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain
termasuk Gowa-Tallo,
di antara
gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk
diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan
tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan
syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan
Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu
Pattiro we Tenrisoloreng beliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena
diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam
versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran
kepercayaan pra-Islam di Bone.
La Maddaremmeng bahkan
melangkah lebih jauh mengadakan ekspansi ke daerah lain dengan alasan
“Islamisasi” beliau memaksa Wajo, Soppeng, Masseppe, Sawitto, dan Bacukiki.
Dengan luasnya daerah yang ditaklukkan oleh La
Maddaremmeng. Tindakannya kemudian mengundang campur tangan penguasa kembar Gowa-Tallo, akhirnya perang saudara kembali pecah pada
tanggal 8 Oktober 1643, Gowa yang memang memiliki angkatan perang yang tak
terkalahkan berkoalisi dengan dengan Wajo dan Soppeng untuk menyerang Bone di
daerah Pasempe dan kemudian memaksa La
Maddaremmeng beserta
pasukannya mundur ke daerah Luwu. Pada akhirnya La
Maddaremmeng beserta
pasukannya bertekuk lutut lalu
digiring ke Makassar untuk menjadi tawanan. Mulai
saat itulah Bone berada dalam kekuasaan Gowa hingga kelak muncul Arung Palakka yang menjadi raja Bone dan mendapat gelar
Sultan Sa’duddin. Wallahu A’lam!
(Ilham Kadir, BA., Mahasiswa Pascasarjana UMI &
Peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Indonesia bagian
Timur)
Comments