Islamisasi di Sulawesi Selatan; Peran Ulama dan Raja-Raja

Awal Masuknya Islam di Sulawesi Selatan
Setelah kerajaan Malaka (Malaysia) jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511 dan arus niaga di pulau Jawa menurun maka pusat perdagangan Nusantara berpindah
ke Makassar di bawah pemerintahan kembar
Gowa-Tallo, daerah ini lalu
dijadikan sebagai the Second Malacca.
Sebagai Bandar niaga terbesar di Nusantara, maka
berdatanganlah para pedagang dari berbagai penjuru, mulai pebisnis dari belahan bumi Nusantara maupun yang datang dari luar, seperti India, Persia, Arab, Afrika, Cina, dan
Eropa. Para pedagang tersebut masing-masing datang
dengan latar belakang yang berbeda, beda budaya, bangsa, bahasa, kepercayaan, dan
seterusnya. Yang jelas saat itu Makassar sudah termasuk
salah satu dari pusat tata niaga kelas dunia yang sangat diperhitungkan.
Datangnya pedagang yang beragama Islam memiliki
cerita tersendiri, diperkirakan para pedagang inilah yang pertama kali
memperkenalkan Islam baik dalam skala Nusantara maupun skala lokal di Makassar.
Sejarah yang sangat masyhur tetang masuknya Islam di
Sulawesi Selatan adalah yang terdapat dalam Lontara Latoa (kronik) yang dikenal sebagai
priode Galigo. Saat itu masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis dan
Makassar, memiliki kepercayaan terhadap dewa yang disebut Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa), sisa-sisa kepercayaan ini masih
dapat disaksikan hingga kini pada masyarakat Lotang dan Kajang di Bulukumba.
Disebutkan bahwa awal kedatangan Islam secara terang-terangan di
Sulawesi Selatan adalah dibawa oleh tiga dai berasal dari Minangkabau yang terkenal dengan Datu’ Tellue atas perintah dari Raja Johor ketika itu, meraka adalah: Abdul Qadir Datuk Tunggal dengan julukan Datuk ri
Bandang, Sulung Sulaeman sebagai Datuk
Patimang, dan Khatib Bungsu sebagai Datuk ri Tiro. Ketiga Ulama di atas menggarap lahan yang berbeda,
Datuk ri Bandang menggarap kerajaan kembar Gowa-Tallo dan Datuk Patimang
menjelajah ke kerajaan Luwu sedang yang terakhir adalah Khatib Bungsu yang
masuk berdakwah pada masyarakat di daerah Tiro yang kini termasuk daerah
Bulukumba dan kemudian hari beliau diberi gelar sebagai Datuk ri Tiro, untuk
mengabadikan nama tempat beliau berdakwah.
Ketiga para dai di atas memiliki metode atau cara yang berbeda
antara satu sama lain, mereka berdakwah sesuai situasi, kondisi dan toleransi
pada obyeknya. Khatib Bungsu alias Datuk ri Tiro misalnya, melihat fenomena
masyarakat daerah Tiro Bulukumba terdiri dari para penganut faham animisme atau
percaya pada hal-hal yang berbau mistik maka beliau memperkenalkan agama Islam
dengan menggunakan metode dan ajaran tasawuf disertai dengan
pendekatan kultural. Masyarakat
setempat dapat menerima ajaran agama Islam dengan sukarela dan tanpa ada
paksaan sedikit pun, berbeda dengan para sejawatnya Abdul Qadir Datuk Tunggal
alias Datuk ri Bandang dan Sulung Sulaeman sebagai Datuk Patimang, mereka
berdua ini berdakwah dengan metode struktural, metodenya jelas berbeda dengan pendekatan
kultural, karena untuk menebarkan pengaruh kepada Sang Raja jelas tidak muda. Keberhasilan kedua dai tersebut dalam mempengaruhi para penguasa untuk menerima
agama Islam sebagai agama kerajaan merupakan sebuah keahlian yang harus selalu dikenang.
Raja yang pertama menerima Islam sebagai agamanya adalah Raja Tallo
yang bernama I Mallingkang Daeng
Mannyonri, Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng. Baginda juga merangkap
jabatan sebagai Tumabbicara Butta (Mangkubumi)
Kerajaan Gowa. Menurut catatan lontara dan berbagai buku sejarah di Sulawesi
Selatan bahwa tanggal resmi penerimaan Islam sebagai agama pada malam Jumat 22
September 1605 atau 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah. Setelah resmi masuk agama
Islam maka baginda langsung mendapatkan gelar sebagai Sultan, dan juga diberi
nama Islam, nama resminya menjadi, Sultan Awwalul Islam. Tidak berapa lama kemudian
Raja Gowa ke-14
yang bernama I Manngerengi Daeng Manrabia,
turut memeluk Islam dan bergelar Sultan Alauddin. Dua tahun kemudian seluruh
rakyat Gowa dan Tallo telah selesai di-Islamkan dengan diadakannya shalat Jumat
secara berjamaah pertama di Tallo pada tanggal 9 Nopember 1607, bertepatan
dengan 19 Rajab 1016 H.
Setelah Kerajaan kembar Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam dan
raja-rajanya memperoleh gelar Sultan maka secara otomatis kerajaan ini telah
menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Sulawesi. Raja Gowa sebagai penguasa
super power di daerah sulawesi mulai menampakkan pengaruhnya dengan menyerukan
kepada seluruh raja-raja yang ada di sulawesi supaya menerima Islam sebagai
agama tunggal, disamping itu memang sudah ada semacam konsensus antara
raja-raja di Sulawesi Selatan bahwa, “Barang
siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan
memberitahukannya pada raja-raja sekutunya”. Puncaknya pada tanggal
9 November 1667 Sultan Alauddin secara resmi mengeluarkan dekrit yang isinya
menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan masyarakat Sulawesi Selatan.
Setelah Sulawesi Selatan dapat diislamkan, maka
tibalah gilirannya Sultan Alauddin yang juga berprofesi sebagai dai bersama
Karaeng Matoaya (Mangkubumi) yang juga pamannya sendiri memperluas pengaruh dan
wilayah melalui islamisasi pada kerajaan-kerajaan di sebelah Timur dan sebagian
sebelah Barat. Bahkan supremasi dan dominasi Kerajaan Makassar meliputi separuh
Nusantara, dari Sulawesi, Berau, dan Kutai (Kalimantan Timur), Nusa Tenggara
minus Bali (karena sebelumnya telah terjadi perjanjian persahabatan antara kedua
belah pihak), Makassar, Marege (Australia Utara), dan gugusan pulau Tinibar. Perluasan
pengaruh dan dominasi Kerajaan Islam Makassar inilah menjadi cikal bakal
munculnya Republik Indonesia yang kekuasaannya mempersatukan Nusantara dari Sabang
sampai Marauke, dari Pualu Migas di sebelah Utara dan Sumba di sebelah Selatan.
Kerajaan dengan
pasukan tempur yang tangguh dan tak tertandingi plus gencarnya dakwah yang dilakukan
oleh kerajaan Gowa-Tallo sebagai pemegang hegemoni politik dan supremasi di
daerah Sulawesi atau Nusantara bagian timur menjadikan mereka dengan
mudah menundukkan para raja yang enggan mematuhi dekrit. Kerajaan yang memeluk
Islam karena kalah dalan peperangan adalah Sidenreng Rappang dan Soppeng pada
tahun 1609, menyusul Wajo tahun 1610, dan terakhir adalah Bone pada tahun 1611
M.
Pada umumnya Islam berkembang di Sulawesi Selatan
dengan proses akulturasi, damai, dan apa adanya, di samping menghormati
konsensus di atas, mereka juga cepat
beradaptasi dengan kepercayaan ini, walaupun terdapat kerajaan yang pada
mulanya enggang langsung menerima Islam sebagai agama Istana dan rakyat namun
itu tidak seberapa. Wallahu A’lam!
(Ilham Kadir. Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar
& Aktivis Arrahman Makassar)
Comments