Ibnu Hazm, Ulama Radikal, Tegas, dan Keras

Sejarah kelahiran Ibnu
Hazm ini telah diserahkan oleh Abu Muhammad dengan tulisan tangannnya kepada hakim
Sa’id bin Ahmad Al Andalusi, perhatian dan ketelitian atas kelahirannya ini
menunjukkan bahwa kedudukan keluarga Ibnu Hazm dikenal terpandang dan Mulia.
Adapun waktu wafatnya
mayoritas ulama berpendapat bahwa ia meninggal pada tahun 456 H bertepatan
dengan bulan Sya’ban, pendapat ini didukung oleh para ulama ahli sejarah di antaranya
adalah Imam Ibnu Katsir dan Ibnu Al Imad. Beliau meninggal pada umur 72 tahun.
Masa
Remaja
Ibnu Hazm adalah tokoh
yang sangat luar biasa, berbeda dengan para ulama yang pernah dilahirkan oleh
zaman kegemilangan Islam, dikatakan demikian karena ia adalah tokoh yang hidup
dalam kesenangan dan fasilitas yang serba mewah, dan dari keluarga yang
terpandang, namun semua itu tidak membuat dirinya terlena dalam kemewahan
bahkan beliau memanfaatkan kemewahannya itu untuk lebih giat menuntut ilmu
hingga menjadi ulama yang sangat dikagumi. Selain itu ulama penganut mazhab az
Zahiri ini juga gemar mengabadikan keadaan pada zamannya dengan menulis outobiografi-nya, berikut salah satu
tulisannya yang menggambarkan keadaan dan situasinya saat ia masih remaja, “Pada masa itu saya tinggal di
antara para rumah kepala pemerintahan. Kami, termasuk saudara saya Abu Bakar,
dikelilingi para pelayan gadis yang betempat di
daerah sejuk dan nyaman. Mereka berkumpul di taman bambu dan kebun bunga rumah kami, di mana pemandangan seperti
ini ada hampir di setiap kota Cordova beserta lembah dan pegunungan yang
mengelilingi kota itu. Mereka berada di pintu yang terbuka yang dapat dilihat
dari celah pohon kurma di mana saya berada di antara mereka. Saya ingat ketika
bermaksud kearah pintu tersebut untuk mendekati seorang gadis, namun ketika aku
terlihat, ia meninggalkan pintu itu dan berjalan dengan gerakan lemah gemulai.
Kemudian saya di sana, namun ia berbuat seperti yang dilakukan gadis
sebelumnya, dan hal ini membuat saya semakin rindu.”
Kenikmatan dan kekayaan telah
terpenuhi oleh ayah Ibnu Hazm, ia memiliki dua rumah, baru dan lama, beliau
menuliskan, “Ayahku pindah dari rumah baru yang dikelilingi taman bunga di
sebelah tenggara Cordova kerumah lama di sebelah barat daya kota itu.
Perpindahan itu, di mana saya juga ikut, terjadi pada hari ketiga masa
kekhalifahan Muhammad Al Mahdi, bertepatan dengan bulan Jumadil Akhir tahun 399
H.”
Ibnu Hazm juga merupakan pemuda
yang gemar mengadakan pengembaraan intelektual rihlah ‘ilmiyah bersama rekan-rekannya hal ini dapat diketahui
lewat tulisannya, “Saya mengembara bersama teman-teman yang ahli
budaya dan keilmuan ke sebuah kebun milik seorang teman kami. Kami duduk
sesaat, lalu pindah ke suatu tempat padang yang luas, tempat pengembalaan di
mana kami merenung cukup lama di antara kendi makanan ternak, suara
burung-burung berkicau yang kalah merdu dengan apa yang dilantunkan Ma’bad (biduan pada era Bani Umayyah, penyanyi dan
pemusik berakhlak baik, wafat tahun 125 H),
Garidh (juga penyanyi besar), buah yang bergelayutan di antara tangan
kami, kelebatan bayangan kami di antara sinar mentari yang berbentuk laksana
papan catur, pakaian yang indah, air tawar yang menjadikanmu mengerti kehidupan,
sungai-sungai yang mengalir bak rongga mulut ular, bunga-bunga yang sejuk.
Akhlak kami melebihi indahnya semua pemandangan, ini yang terjadi pada musim
semi di bawah naungan sinar mentari yang dibungkus kabut tipis dan kadang
timbul di antara gumpalan awan, bagaikan gadis cantik yang pemalu, timbul dan
hilang di antara tabir yang mebuat rasa gemas dan terlena di antara kami, serta
seakan menganugrahkan kepada yang lainnya.”
Keadaan ini tak berlangsung lama
karena terjadi peralihan kekuasaan dari satu penguasa ke penguasa lainnya
sebagaimana yang Ibnu Hazm gambarkan. “Setelah kepemimpinan Hisyam Al Muayyad, kami
mendapatkan banyak kesukaran dan perlakukan otoriter dari para pemimpin negara.
Kami ditahan, diasingkan, dan dililit utang serta diterpa banyak fitnah sampai
wafatnya ayah kami yang menjabat sebagai menteri. Peristiwa ini terjadi pada
hari Sabtu setelah waktu Ashar, dua malam terakhir bulan Zul
Qa’dah 402 H.” peristiwa kelabu itu sebenarnya telah menimpa keluarga Ibnu Hazm sejak setahun sebelumnya
ketika saudaranya Abu bakar
meninggal dunia akibat wabah yang menyerang Cordova pada bulan Zul Qa’dah 401 H
dikala beliau berumur 22 tahun. “Beragam fitnah
dan cobaan terus menimpa penduduk Cordova sampai kemudian mereka mengungsi ke
kota Almeria, ‘zaman kesusahan pun terjadi’ lalu kami meninggalkan rumah-rumah
yang ditaklukkan pasukan Barbar. Saya meninggalkan Cordova
pada awal Muharram 404 H sampai berlalu Selama 6 tahun atau lebih.” Tulis Ibnu
Hazm.
Keilmuan
Ibnu Hazm terkenal dengan keilmuan
yang mendalam dan kebudayaan yang luas. Hal ini tidak dipungkiri oleh
tokoh-tokoh semasanya, baik yang mendukung maupun yang menentang. Ia menguasai
banyak perbendaharaan ilmiah dan ensiklopedi pada masanya yang membuat kagum
para tokoh dan dipuji. Al Imam adz Zahabi berkata, “Ia (Ibnu Hazm) dikenal
sangat cerdas, kuat hafalan, dan luas perbendaharaan keilmuan.” Semenara Al
Gazali berkomentar tentang karya Ibnu Hazm, Fi
Asma’ Allah al Husna yang menunjukkan kekuatan hafalan dan kecerdasan
pribadinya. Menurut Abu al Qasim Sa’id, para tokoh Andalusia sepakat adanya
penguasaan ilmu-ilmu Islam, luasnya pengetahuan mereka tentang ilmu logika, dan
besarnya sumbangsih Ibnu Hazm di bidang balaghah, syair, sunnah, dan atsar. Al Humaidi berkomentar tentang
Ibnu Hazm, “Abu Muhammad Ibnu Hazm dikenal hafiz di bidang hadis, menguasai istimbath hukum-hukum dari al Qur’an dan
sunnah, menguasai beragam ilmu dan beramal dengannya.”
Ibnu Hazm dikenal istiqamah
terhadap ilmu, kontinyu atas penyusunan buku, memperbanyak karangan, sehingga
karya-karyanya melimpah ruah bagai muatan onta. Karenanya, anaknya, Al Fadhl Al
Mani Abu Rafi’, berkata, “Jumlah karya-karyanya dibidang fikih, hadis, ushul,
sekte, mazhab keagamaan, dan lainya seperti sejarah dan sastra, serta
penolakannya atas lawannya sebanyak 400 jilid atau buah buku yang jumlahnya
sekitar 80.000 lembar.”
Ini merupakan suatu
prestasi yang tidak pernah dilakukan seorang pun semasa kedaulatan Islam
sebelumnya kecuali oleh Ja’far Muhammad bin Jarir Al Tabari. Karena dialah yang
terbanyak karyanya diantara para tokoh Islam.
Nyatanya Ibnu Hazm mendapat pujian dan sanjungan, karena kita tidak
menemui tema keilmuan kecuali di dalamnya terdapat sumbangsih besar dari Ibnu
Hazm. Oleh itu bisa kita lacak karya magnum
opus-nya al Fashl fi al Milal wa al
Ahwa’ wa an nihal, menggambarkan bagaimana Allah swt menganugrahkan ilmu
dan keutamaan-Nya kepada ulama ini.
Selain sebagai penulis
produktif hal lain yang membedakan Ibnu Hazm dengan ulama pada umunya adalah
karirnya yang pernah menjabat sebagai menteri beberapa priode, hal ini makin
menambah keilmuannya pada hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan,
walaupun pada akhirnya beliau meletakkan jabantannya sebagai menteri dan
kembali menekuni profesi lamanya sebagai penulis dan ahli debat. Berhubungan dengan aktifitasnya
dalam ranah politik Ibnu Hazm melahirkan sebuah karya yang dipandang sangat
bermutu yaitu Naqth al Arus. Beliau
juga menerangkan dengan jelas alasannya berhenti dari pemerintahan, “Kemudian
situasi di Negeri Barat dan Timur berubah menjadi hina dina sehingga disebut
sebagai ‘zaman makelar’ dan ‘kehinaan manusia’ agar Allah swt memperlihatkan
hamba-hamba-Nya yang berselisih dan saling menipu.”
Karakter
Ibnu Hazm memiliki karakter dan
prilaku terpuji lagi mulia dan berilmu, hal ini layak untuk kita kaji dan
diskusikan, beberapa hal yang patut kita ketahui adalah: a) Ibnu Hazm menguasai
beberapa karya tokoh masyarakat beserta dalil dan argumentasinya. Ia juga hafal
tokoh-tokoh masa lalu dan menghubungkan ilmu-ilmunya dalam sebuah diskursus
pemikiran di antara para ulama dan ahli hukum; b) Ibnu Hazm dikenal dengan
keluhuran dan keindahan pribadinya. Ibnu Bisykawal ketika memujinya hanya
dengan mengatakan, “Ia dikenal seorang yang mengamalkan ilmunya.” Ia juga
dikenal rendah hati dan selalu bersyukur sebagaimana ungkapan beliau, “Jika
saya mengagumi ilmu kamu, sesungguhnya tidak ada ketinggian bagimu dalam hal
itu, karena itu adalah semata-mata pemberian Allah swt kepadamu. Kamu tidak
boleh mengamalkan ilmu yang membuat-Nya murka karena bisa jadi Dia melupakanmu
dari ilmu yang ada padamu sehingga kamu tidak hafal dan tidak mengetahui… wahai
ahli ilmu! andai seseorang belajar dengan sangat gigih, niscaya masih ada yang
lebih unggul dari dirinya. Sesungguhnya itu semua adalah karunia Allah swt.”;
c) Ibnu Hazm memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam meredam gejolak
hawa nafsunya, baik dikala muda maupun telah berumur, bagaimana tidak, hal ini
dapat kita lihat kehidupannya yang mewah dan serba lengkap dalam istana yang
dikelilingi oleh para pelayan bak bidadari yang cantik nan molek, namun ia
tidak terjerumus dalam maksiat. Ia pernah menulis tentang keadaannya ini, “Demi
Allah Yang Maha Mengetahui, sesungguhnya rumahku memiliki halaman luas dan
serasi, tubuhku berpostur bagus, namun demi Allah, sarungku tidak pernah
menyentuh kemaluan wanita yang haram dan Allah menjagaku dari perbuatan zina
sampai dewasa hari ini.”; d) Ibnu Hazm adalah ulama yang ahli debat, perdebatan
sengit antara dirinya dan sebagian ulama lain yang berusaha memojokkan dan
menghujatnya telah memberi pengaruh mendalam pada dirinya, hal ini terlihat
dalam karyanya ‘al fashl’, dan
diikuti dengan karyanya yang lain, beliau berujar, “Dari perdebatan dengan
orang-orang jahil, saya telah
mendapatkan manfaat besar berupa ketajaman pikiran, kematangan pribadi, dan
peningkatan aktivitas. Ini semua juga menjadi penyebab tersusunnya banyak kitab
bermanfaat, dan seandainya tidak ada penghujatan dan kritikan mereka terhadapku
niscaya tidak akan tersusun banyak karya.” Sikap ikhlas Ibnu Hazm menjadi kunci
kemasyhuran pribadinya, yaitu berani menyuarakan kebenaran dengan tidak
memperdulikan apakah manyarakat suka atau tidak, sama baginya antara celaan dan
pujian. Kebenaran senantiasa mendorongnya untuk mengatakan apa yang seharusnya
dikatakan, dan wajib baginya untuk menyuarakan kebenaran itu tanpa tedeng
aling-aling sebagaimana yang dikatakan salah seorang temannnya yang hidup
semasanya, “Ia mengetahui banyak ilmu dan tidak mengetahui siasat ilmu.” Para
sejarawan sepakat bahwa pendapat Ibnu Hazm sangat radikal, keras, dan tegas.
(Ilham Kadir, Mahasiswa
PPS UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur)
Comments