DPRD SULSEL; MARI WASPADAI SYIAH SECARA BERSAMA
Makassar/10/01/2013.
Rombongan dari elemen masyarakat yang dikoordinir oleh LPPI dan perwakilan
mahasiswa lintas perguruan tinggi melakukan audensi dengan Komisi E DPRD
Sulawesi Selatan di Ruang Komisi E Gedung DPRD. Rombongan diterima oleh
beberapa anggota DPRD dari Komisi E yang sebelumnya telah menerima romobongan
dari perwakilan guru-guru dari Kabupaten Maros. Sejatinya pertemuan dijadwalkan
pada jam 10.00 Wita, namun karena mendahulukan perwakilan guru-guru dari Maros
tersebut sehingga pertemuan LPPI dan rombongan diundur tiga puluh menit
kemudian.
Anggota DPRD
yang menerima rombongan LPPI dan elemen masyarakat dan mahasiswa lainnya
adalah, Drs. Jafar Sodding, Drs. H. Usman Lonta, Andi Mariattang, S. Sos, Drs.
H. Pangeran Rahim dan Drs. H. Ambo Dalle. Dalam pertemuan tersebut, audensi
dipimpin lamgsung oleh Drs. Jafar Sodding Sekretaris Komisi E, dalam
pembukaannya, Anggota DPR dari PKS itu mengapresiasi LPPI dan komponen
masyarakat serta mahasiswa yang telah menghargai DPRD, karena sudi melakukan
audensi, “Cara seperti ini sangat elegan dan harus terus dipertahankan.”
Katanya, sebelum mempersilahkan kepada Ketua Rombongan sekaligus Ketua LPPI
untuk memaparkan maksud dan tujuan kedatangannya.
Dalam
pemaparannya, M. Said Abd Shamad menerangkan dengan gamblang permasalahan yang
meresahkan, yaitu, pertama, terkait program doktoral by
research Jalaluddin Rakhmat (JR) di UIN Alauddin yang dinilai telah
mencederai statuta UIN Alauddin sendiri yang sangat anti terhadap pemakaian
gelar aspal, asli tapi palsu. Kepalsuan gelar akademik JR dapat
dibuktikan dengan surat dari Unpad yang menjelaskan bahwa JR belum memiliki
gelar guru besar di Unpad Bandung, secara administratif JR belum menyerahkan
ijazah doktornya kepada Unpad, dan Dikti yang menyatakan bahwa JR belum
melakukan penyetaraan Ijazah doktonya. Jadi titel guru besar alias ‘Prof.’ JR
hingga detik ini Unpad sebagai perguruan tinggi tempat Jalaluddin Rakhmat
mengajar, belum pernah memberikan anugrah tersebut, dan tidak pula ada
perguruna tinggi lain yang diketahui telah menganugrahi gelar ‘guru besar’,
padahal dalam salah satu tesis yang ditulis oleh salah seorang mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah, Rosyidi MA yang telah dibukukan dengan judul “Dakwah Sufi
Kang Jalal” dengan jelas JR mengakui bahwa dirinya telah menyelesaikan
doktor-nya di Australian National University (ANU), dan telah dikukuhkan
sebagai guru besar di Universitas Padjadjaran Bandung pada Oktober 2001. Kedua,
UIN Alauddin dinilai tidak menghiraukan harapan masyarakat dan tokoh-tokoh
ulama yang keberatan jika Jalaluddin Rakhmat yang menjadi pendiri dan dewan
syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), sebuah organisasi yang getol
membela dan menyebarkan paham syiah, mengambil doktoralnya di UIN Alauddin yang
notabene-nya didirikan dan dikelolah oleh para penganut paham Ahlussunah
Waljamaah. Ketiga, hendaknya UIN harus transparan kepada masyarakat
terkait gelar yang dimiliki oleh JR, karena selama ini, para petinggi UIN,
selalu menyebut JR sebagai Prof., dan Dr., apakah gelar tertinggi dalam
akademik itu benar-benar telah ia raih, atau hanya isapan jempol semata? dan keempat,
hendaknya pihak DPRD Sulsel kembali menjadi mediator antara LPPI dan perwakilan
masyarakat dan mahasiswa dalam membahas kembali problem program doktoral
Jalaluddin Rakhmat dengan pihak UIN Alauddin Makassar. Ust. Said juga merasa
risau dengan kenyataan bahwa organisasi Syiah yaitu IJABI, seakan-akan sudah
menjadi ormas yang diterima keberadaannya oleh masyarakat Islam Sulsel, padahal
Fatwa MUI telah menegaskan perlunya mewaspadai masuknya ajaran yang berdasarkan
Syiah.
Setelah itu,
tampil pula beberapa elemen masyarakat untuk melontarkan aspirasinya, seperti
tokoh masyarakat H. Sudirman yang menegaskan perlunya ketegasan untuk
membendung ajaran dan pemahaman Syiah seperti adanya nikah mut’ah yang telah
marak diperaktiikan kalangan mahasiswa, juga H. Daen Nyunta, beliau menekankan
agar masalah Syiah di Makassar harus menjadi perhatian serius seluruh elemen
masyarakt, dan DPRD diminta untuk tanggap akan aliran yang telah difatwakan
oleh MUI kesesatannya itu. Ada pun, perwakilan salah mahasiswa dari salah
satu kampus negeri di Makassar, menekankan bahwa jika Syiah terus-menerus
dibiarkan tumbuh dan berkembang, kelak akan manjadi konflik horizontal
sebagaimana di Sampang Madura, Irak, Suriah, hingga Pakistan. Saat ini tak
kurang dari enam puluh ribu rakyat Suriah yang berfaham Sunni dibantai oleh
rezim Bashar Asad yang Syiah itu, papar ketua ikatan salah satu organisasi
mahasiswa tersebut. Ada pun, perwakilan dari pemuda, Ahmad Firdaus, yang juga
pegawai resmi Kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sulsel, terang-terang
menilai bahwa Syiah selayaknya tidak bisa dikatakan sebagai Islam karena telah
pasti kekafirannya, menurut Mahasiswa Pascasarjana Unhas ini, dikatakan kafir
karena Syiah telah memiliki rukun Islam dan iman yang beda, bahkan Alquran-nya
juga berbeda. Untuk itulah ia menghimbau agar DPRD melakukan kerja serius untuk
mendorong pemerintah daerah Sulawesi Selatan berbuat sebagaimana Jawa Timur
yang telah mengeluarkan perda pelarangan terhadap segenap aktifitas Syiah di
Jatim.
Selesai
mendengarkan beberapa pemaparan dan para pserta audensi, pimpinan kembali
mengambil kendali dan melemparkan kepada beberapa anggota komisi E yang hadir,
dimulai oleh, Drs. Ambo Dalle, beliau menyatakan bahwa perbedaan akidah dari
segenap komponen umat Islam di Indonesia memang menarik untuk dikaji, tak
terkecuali Syiah yang memang sejak dulu menjadi permasalahan internal umat
Islam, untuk itu, menurut Anggota DPRD dari Partai Hanura itu, seharunya
pemerintah turun tangan menangani permasalahan ini.
Ada pun Ibu
Andi Mariattang, menceriakan awal beliau bersentuhan dengan Syiah, yaitu ketika
masih kuliah dan menjadi mahasiswi di Unhas 20 tahun lalu, saat itu para
pengusung Syiah sudah sangat getol memasarkan paham sesatnya lewat
kajian-kajian kemahasiswaan, dan diminati para aktivis kampus. Dapat dipastikan
jika saat ini Syiah jauh lebih pesat dan memiliki metologi yang jitu dalam
menyesatkan umat. Untuk itu, menurut wakil rakyat dari PPP ini, LPPI dan
seluruh komponen masyarakat harus bersatu mewaspadai Syiah, terutama para
wanita, mahasiswi dan ibu-ibu yang dirugikan, karena adanya nikah mut’ah yang
menjadi salah satu amalan bahkan ajaran pokok penganut syiah, padahal nikah
mut’ah sangat merugikan wanita, karena menjadikan wanita sebagai korban yang
tidak memiliki hak nasab dan nasibnya akan suram jika dimut’ah, inilah yang
harus dipasarkan ke masyarakat. Intinya Syiah itu mut’ah, itu saja, pungkas
wanita berjilbab itu.
Menurut Anggota
Komisi E lainnya, Drs. H. Andi Pangeran Rahim, Syiah pada dasarnya adalah
aliran garis keras, ‘saya pernah membaca salah satu buku terkait Syiah,
dalam buku itu ditulis dengan jelas bahwa, andaikata Imam Ali ra memerintahkan
pengikutnya untuk terjun ke api yang menyala-nyala, niscaya mereka terjun’.
Selanjunya beliau memaparkan bahwa pada dasarnya Syiah dan Ahmadiah itu sama,
bahkan lebih parah Syiah, hanya saja Ahmadiah telalu vulgar dalam memasarkan
ajarannya, ada pun Syiah lebih lembut dan elegan sehingga terlihat baik, sopan,
cerdas, dan menyelamatkan, padahal kalau kita telusuri, niscaya ajarannya penuh
dengan kekerasan, kedengkian, dan kebohongan. Untuk itu, lanjut Anggota DPRD
calon doktor di salah satu perguruna tinggi ini, jika pemerintah pusat
mengeluarkan SKB tiga menteri untuk Ahmadiah, maka Syiah juga harus
diperlakukan demikian.
Selanjutnya
acara kembali dikendalikan oleh Drs. Jafar Sodding dan mengajak seluruh
elemen masyarakat harus bersatu untuk memperhatikan masalah Syiah sebagai
aliran yang telah difatwakan MUI untuk diwaspadai masuknya dan penyebarannya di
tengah-tengah masyarakat. “Untuk itu Insya Allah akan ada pertemuan lanjutan
membahas masalah ini, termasuk program doktoral Jalauluddin Rakhmat di
UIN Alauddin,” tegas calon Wali Kota Makassar ini.
Menjelang pukul
12.00, pertemuan pun ditutup, para hadirin saling berjabat tangan dengan
hangatnya, lalu masing-masing peserta meninggalkan ruangan Komisi E DPRD Sulsel
penuh dengan rasa puas. (Ilham Kadir/LPPI Makassar).
Comments