Boediono, Jk, dan Masjid

Dalam sambutannya, Wapres menyatakan, “Dewan Masjid Indonesia
kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya tentang pengaturan penggunaan
pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah
panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban shalatnya. Namun
demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain,
yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih
merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan
terlalu dekat ke telinga kita.”
Tak pelak lagi, banyak yang beraksi terhadap Pidato Wapres di atas
yang dianggap kontroversial, ada yang menyayangkan karena ha itu diucapkan
seorang Wapres yang juga seorang muslim, sebagaimana Ketua Umum Dewan Dakwah
Islamiah Indonesia (DDII), Syuhada Bahri yang sangat kecewa. “Saya sangat
menyayangkan seorang Wapres, apalagi muslim berkata seperti itu. Ini disebabkan
posisi beliau. Bukankah pada saat pemilu, suara 60 persen yang memilih pasangan
SBY-Boediono itu adalah umat Islam? Mestinya janganlah sakiti umat dengan
pernyataan seperti itu, ” ujarnya. Senada dengan itu Ali Mustafa Ya’qub, Imam
Besar Masjid Istiqlal menyatakan, “Sebenarnya ini (azan) tidak laik dibahas
lagi. Orang-orang di Bali yang non-Muslim saja tidak masalah. Mereka justru
merasa diuntungkan dengan adanya suara azan Subuh. Mereka bisa dibangunkan.”
Setali tiga uang dengan tanggapan Ketua Majelis Ulama Pusat, KH. Amidhan,
beliau menjelaskan bahwa ciri khas azan harus keras karena tujuannya memanggil
orang salat berjamaah ke masjid dan sebagai tanda telah masuknya waktu salat.
Namun ada juga yang menanggapi dengan biasa-biasa saja, sebagaimana Yopie
Hidayat yang menjabat sebagai Juru Bicara Wakil Presiden, “Tolong pernyataan
tersebut (pidato Wapres) jangan dipolitsasi. Dilihat lagi konteks pernyataan
tersebut. Boediono hanya memberi usul agar dimusyawarkan,” ujar Yopie.
Hemat penulis, kekeliruan Wapres Kabinet Indonesia Bersatu Jilid
Dua ini terletak pada persoalan azan yang merupakan salah satu pokok dari syiar
Islam. Padahal jika fokus pada pengaturan ‘toa’ bisa lebih tepat. Misalnya,
‘toa’ bisa diarahkan keluar masjid hanya untuk azan, puji-pujian, dan khotbah Jumat.
Bisa juga untuk pengumuman yang menyangkut kepentingan publik seperti soal
kematian, kerja bakti, kebakaran, dan seterusnya.
Masalah azan dengan suara menyentak dalam pandangan Wapres hanya
terdapat pada kota-kota besar tertentu khususnya di tengah pemukiman yang
penduduknya heterogen. Apalagi pada waktu bulan puasa ada masjid yang
menyalakan ‘toa’ dengan volume full sampai jam 02.00 pagi, atau ada masjid
yang menyetel siaran bacaan Alquran sejak pukul 03.00 Wita, sementara azan
Subuh dikumandangkan satu jam kemudian, jelas hal ini harus dievaluasi. Namun secara
umum azan sangat membantu untuk mengingatkan umat Islam akan masuknya waktu
salat di sela-sela kesibukannya bekerja di sawah, dalam ruang perkantoran, di
depan komputer, dalam toko, atau sedang rapat membahas agenda negara.
JK dan Masjid
Kecuali itu angin segar juga menerpa para penggiat masjid, pada
acara Muktamar DMI ke-6 tersebut, JK terpilh secara aklamasi sebagai Ketua Umum
Dewan Masjid Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa harus JK yang didaulat
menjadi ketua umum adalah sosoknya yang tidak pernah jauh dari masjid.
Perhatian dan keterlibatan JK pada masjid bukan hanya sebatas mendirikan masjid,
memberikan bantuan, dan menjadi pengurus masjid, melainkan juga dapat dikatakan
bahwa masjid bagi JK adalah bagian dari dirinya sendiri. Tidak salah jika peserta
muktamar DMI menyepakati dengan suara bulat (aklamasi) beliau sebagai ketua
Umum.
Keberadaan DMI adalah aset umat yang hendaknya lebih mampu membaca
dan mengikuti derap kemajuan umat yang diayominya. Perubahan sosial
kemasyarakatan dan kehidupan para penghuni masjid dan umat tentu tidak akan
bisa terpenuhi apabila DMI tidak dirurus oleh tokoh yang memiliki pengaruh dan
kesungguhan yang sudah teruji sebagaimana sosok JK.
Sebagaimana mendiang ayahnya Haji Kalla yang telah mengurus Masjid
Raya Makassar, sosok JK juga sejak dari dulu selalu berkecimpung dalam dunia
masjid. Bahkan ketika beliau menjabat sebagai Wakil Presiden pun, perhatian JK
terhadap masjid tak pernah surut. Setidaknya ada dua masjid yang beliau urus
ketika menjabat sebagai Wapres, Masjid Raya Makassar dan Masjid Al Markaz Al
Islami. Semua persoalan masjid tak luput ia perhatikan dan pertanyakan kepada
pengurus harian, semisal kran air yang rusak,
sajadah yang kotor, perpustakaan, taman kanak-kanak masjid, lampu
kristal, sampai burung hantu yang bertengger di kubah masjid.
Diceritakan bahwa suatu ketika panitia Masjid Al Markaz mengeluhkan
kehadiran seekor burung hantu yang menjadikan kubah Masjid Al Markaz sebagai
sarang. Burung yang sudah beranak pinak tersebut mengotori lampu kristal dan
lantai mesjid, kehadiran burung hantu itu sudah sangat meresahkan pengurus
masjid karena tidak jarang burung tersebut membawa bangaki tikus masuk ke dalam
masjid. “Kami kesulitan mengusir burung hantu itu,” lapor pengurus pada JK.
Tapi itulah sosok JK selalu memberi jalan keluar dengan spontan dan tanpa
basa-basai. Beliau menanggapinya dengan enteng, “Burung hantu kan suka yang
gelap dan hidup di malam hari. Tidak senang kalau siang atau terang, karena itu
kalau mau mengusir burung itu, maka pasangi saja lampu sorot biar dia rasa
tidak nyaman dan pergi, kan gampang!” tutur JK yang disambut gerr para jamaah.
Soal keikhlasan dalam mengurus masjid JK bisa jadi tauladan yang
baik, ini masih berkisar tentang Masjid Al Markaz, tempat ibadah kebanggaan
kaum muslimin di Susel. Sebagaimana yang dituturkan oleh Husain Abdullah dalam
buku “Jusuf Kalla The ‘Real’ President”, ketika JK ditanya alasan Al Markaz
diberi nama Masjid Jenderal M. Jusuf. Kenapa bukan M Jusuf saja, dan tidak
perlu menggunakan kata “Jenderal” karena tidak lazin sebuah mesjid diberi nama
tentara apalagi jenderal dan umumnya nama-nama mesjid itu diambil dari nama
para wali atau nama-nama (asma’) Allah. JK beralasan bahwa ia sengaja
menegaskan kata Jenderal-nya menjadi Mesjid Jenderal M Jusuf Al Markaz Al
Islami, agar kelak di kemudian hari, kata jenderal tersebut menjadi penjelas
dan penbeda antara namanya dengan nama Jenderal M. Jusuf.
Itulah sedikit certia tentang hubungan antara JK dengan masjid.
Menjadi pemimpin memang harus ikhlas dalam berbuat, dapat memberi jalan keluar
dan inspirasi, serta membangun harapan. Bukan menjadi pengeluh dan pengkritik
terhadap kekayaan khazanah kebuadayaan dan kepercayaan bangsa. Wallahu A’lam!
(Ilham Kadir, Mahasiswa PPS UMI Makassar, Peneliti LPPI
Indonesia Timur)
Comments