Biadab Terhadap Alquran
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan tersangka baru dalam kasus
dugaan korupsi pengadaan Alquran dan laboratorium komputer di Kementrian Agama.
Tersangka baru tersebut adalah Pejabat Pembuat Komitmen pada Direktorat
jenderal Bimas Islam Kemenag yang disinyalir bernama Ahmad Jauhari. Sebelumnya
KPK telah menetapkan dua tersangka kasus korupsi pengadaan Alquran, keduanya
adalah bapak dan anak, yaitu Zulkarnaen Djabar dan anaknya Dedndy Prasetya.
(Republika, Jumat, 11 Januari 2013).
Sudah
terlalu banyak yang menulis tentang korupsi, dan selalu berusaha mencari solusi
dan pangkal masalahnya. Ada baiknya jika kita mengurai penyabab korupsi ini
dengan memulai dari akar tunjangnya yang kita sebut sebagai adab. Problem utama
yang mendera masyarakat Islam nusantara menurut analisa Profesor Naquib
Al-Attas adalah ‘lose of adab’ atau kehilangan adab. Maka tidak salah
dan bukan pula kebetulan para pendiri bangsa ini (founding fathers)
mendudukkan adab sabagai salah satu pilar berdirinya negara yang bernama
Indonesia. sila kedua dari pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
menjelaskan akan urgensi adab dalam konteks keindonesiaan.
Terlepas
adanya kaitan antara adab yang dimaksud dalam sabda Nabi, “Addabani rabby fa
ahsana ta’dibi, Tuhanku telah mendidikku, dan Dia memperbagus didikanku”
yang jelas kata adab sesungguhnya telah diindonesiakan baik dalam konteks
etimologi maupun epistemologi. Sehingga dari kecil kita telah diajari untuk
selalu memiliki adab yang baik. Sudah umum pula dikatakan bahwa adab itu
identik dengan prilaku yang terpuji (mahmudah), seperti sopan dan
santun, jujur dan adil, ramah lagi pemurah, dan seterusnya. Adapun lawan kata
dari adab adalah bi-adab alias tidak beradab, seperti memiliki tingkah laku
yang semana-mena, tidak tahu tata-krama, sombong, congkak, hingga perbuatan
khianat masuk dalam kategori biadab.
Adab
dalam masyarakat Bugis Bone dapat dipadankan dengan ampe-ampe madeceng,
menurut masyarakat Bontocani (Bone Selatan) yang dapat membedakan manusia
dengan hewan terletak pada ampe-ampe-nya “iyamitu nariasengngi tau
taue narekko madecengngi ampe-ampena, barulah manusia itu dikatakan manusia
jika memiliki prilaku yang baik,” tapi jika seseorang tidak memiliki ampe-ampe
madeceng maka ia akan tergolong sebagai binatang, seorang yang sering bikin
onar dan biadab disebut “allao asu” atau bertindak seperti ‘maaf’
anjing. Intinya pembeda antara manusia tau, dengan binatang olo-kolo
terletak pada adab alias ampe-ampe, Orang biadab adalah mereka yang tak
memiliki harga diri.
Penulis
sepakat dengan Yudi Latif bahwa kemiskinan memang membuat bangsa ini tidak
memiliki banyak hal, tetapi keserakahan membuat bangsa ini kehilangan
segalanya. Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan
ekonomi, melainkan kehilangan harga diri, yang mebuat para abdi negara
terpenjara dalam perbudakan mental sebagai pencuri dan pengemis. Menurut Hamka,
harga diri bagi masyarakat Bugis juga dikenal dengan siri’. Hanya
elaborasi antara adab dan siri’ pada diri seseorang yang dapat
mengantarkannya menjadi mahluk yang beradab dengan adab Alquran.
Bangsa
Indonesia saat ini berada pada titik nadir menuju kehancuran, baik secara
institusi kenegaraan maupun secara moral. Indonesia termasuk negara yang terancam
bangkrut dalam segi pengelolaan, dan pada titik nadir dalam aspek moralitas dan
harga diri, bangsa yang pengelolanya benar-benar biadab. Pada tahap tertentu
bangsa ini lebih biadab daripada kaum nabi Nuh as, yang ingkar kepada Allah dan
utusan-Nya, atau lebih bobrok dari prilaku kaum Nabi Luth as yang lesbi, atau
Nabi Shaleh yang penganutnya tak tahu menepati janji, bahkan Nabi Syuaib yang
kaumnya selalu mengurangi takaran.
Belum
pernah ada dalam kisah umat nabi-nabi terdahulu menunjukkan bahwa ada kaum yang
mengaku mengamalkan kitab sucinya tapi pada saat bersamaan menginjak-injak
ajarannya, tidak sampai di situ, kaum ini juga telah melakukan penipuan dengan
dan atas nama kitab sucinya. Kitab samawi ini dijadikan objek korupsi dengan
keuntungan duniawi yang sangat fantastis. Pun zaman dahulu kalau ada yang
mengambil keutungan dari kitab-kitab Allah, mereka tidak pernah mengambil
dengan porsi yang besar, Alquran hanya mengatakan bahwa para Ahli Kitab dari
Yahudi dan Nasrani ada yang menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah, “yasytaruna
biayaatillah tsamanan qalilan”.
Korupsi
pada kasus-kasus tertentu mungkin ada yang bisa memaafkan pelakunya, katakanlah
yang berhubungan dengan kasus BLBI, Bank Centuri, Dana Abadi Umat, Wisma Atlet,
Sport Centre Hambalang, daftarnya terus berlanjut. Tapi korupsi dengan dan atas
nama Alquran adalah prilaku biadab yang tak termaafkan oleh siapa dan kapan
pun, termasuk ikan-ikan teri hingga hiu di laut atau semut hingga gajah di
daratan akan mengutuk palakunya. Para koruptor jenis ini bukan saja memalukan
bangsa Indonesia tetapi sudah benar-benar menghilangkan harga diri umat dan
menjadikan bahkan menganggap Alquran yang mereka korupsi itu hanyalah tumpukan
kertas berisi goresan-goresan yang sama saja dengan tumpukan buku-buku dokumen
lainnya, jika asumsi ini benar maka telah terjadi desakralisasi Alquran.
Memang
secara eksplisit tak ada satu pun ayat yang berbicara tentang korupsi, tetapi
tidak susah menemukan ayat yang berbicara mengenai larangan terhadap cara apa
pun yang menyebabkan kerugian material atas orang lain. Jangankan menggarong
hak milik orang, Alquran bahkan melarang mengambil keuntungan dari meminjamkan
harta kekayaan dengan mencela peraktik ribawi sebagaimana yang terdapat dalam
QS Albaqarah [2]: 275-279, Ali Imran [3]: 130, Arrum [30]: 39. Kecuali jika
korupsi dipadankan dengan pencurian sebagaimana dimaksud dalam Almaidah [5]:
38. Yang jelas Nabi yang perkataannya menjadi sumber hukum kedua, pernah
menyentil dengan sabdanya, “al-Rasyi wal Murtasyi fi an-Nar,” orang
menyuap dan disuap akan masuk neraka.
Karena
tidak adanya dasar hukum bagi pelaku korupsi di dunia, maka menurut Ustaz
Bachtiar Natsir dalam ‘Kolom Konsultasi Agama’ pada salah satu Koran Nasional
mengakui bahwa hukuman bagi pelaku korupsi termasuk dalam kategori ta’zir
yaitu hukuman yang tidak ditentukan dalam teks Alquran maupun hadis, tapi
ditentukan oleh pemimpin dan udang-undang yang berlaku. Dalam ajaran Islam,
kita kenal tiga bentuk hukum yaitu hudud bagi pelaku kemaksiatan seperti
zina, mencuri, menuduh orang berzina, residivis, dan pembuat kerusakan. Kedua
adalah qishas yaitu mereka yang menghilangkan nyawa atau mencederai
orang lain dengan sengaja. Dan ketiga adalah ta’zir, bentuk hukumannya
beraneka ragam, bisa lebih ringan dari ketiga bentuk hukum di atas bisa pula
lebih berat, jika pelaku zina dicambuk atau dirajam, pembunuh dibunuh atau
didenda dengan ganti rugi, maka koruptor seharusnya mendapatkan ganjaran lebih
kejam. Terlebih jika yang dikorupsi adalah Kitab Suci Alquran yang berisi firman
Allah.
Salah
satu bentuk ta’zir yang pernah ada dalam komunitas masyarakat Bugis adalah,
hukuman bagi pelaku zina yang masing-masing telah memiliki pasangan (selingkuh).
Biasanya kasus ini diketahui oleh masyarakat jika yang bersangkutan besetubuh lalu
melengket dan tidak bisa dipisahkan, entah dengan sebab apa hal ini bisa
terjadi dan belum bisa diungkap oleh ilmu fisika. Tapi sesungguhnya pernah
terjadi, pelakunya dimasukkan ke dalam karung lalu diikat tali dan
ditenggelamkan ke laut dengan batu. Hukuman ini memang sadis, tapi juga sangat
layak bagi yang berlaku biadab terhadap kitab suci Alquran. Wallahua’lam!
Ilham Kadir. Mahasiswa Pascasarjana UMI, Peneliti LPPI Indonesia
Timur
Comments
smoga bapak selalu diberi kekuatan oleh Allah SWT...
amin,
semangat pak
lukman
pembaca tribun