Belajar dari Nabi Sulaiman
Dikisahkan
bahwa bangsa Bani Israil dilanda kegalauan karena pemimpin mereka, Nabi Daud
telah uzur dan belum terlihat ada sosok yang mampu menggantikan peran dan
kedudukannya sebagai raja. Suksesi kepemimpinan pun menjadi bahan bicaraan di
mana-mana –sebagaimana rakyat Sulsel saat ini—mereka sangat takut kehilangan
pemimpin yang telah mengayomi rakyatnya dan terkenal keadilannya, sementara
putra mahkota, Sulaiman dipandang masih terlalu muda karena baru berumur 13
tahun.
Suatu
hari, kerajaan Bani Israil digemparkan oleh dua wanita yang berperkara dan
menghadap kepada sang raja. Ceritanya bermula ketika dua orang ibu pergi ke
padang rumput masing-masing membawa bayi mereka. Kedua bayi itu diletakkan di
atas sebuah batu besar, lalu para ibu tersebut pergi mengurus ladang mereka.
Seorang ibu yang lebih muda memiliki firasat aneh akan keselamatan sang bayi
jika ditinggal begitu saja, kenyataannya, seekor serigala tiba-tiba muncul dan
menerkam salah satu bayi yang ada. Kedua ibu pun saling berebut bayi yang
tersisa.
Ibu
yang lebih muda merasa jika bayi yang tersisa adalah anaknya. Namun ibu yang
usianya lebih tua juga merasa jika bayinyalah yang selamat. Keduanya bertengkar
dan berselisih. Setelah Nabi Daud mendengar cerita masing-masing dua wanita
yang bersengketa itu. Beliau menasihatkan agar salah satu di antara mereka akur
dan mengalah saja, agar permasalahnnya tidak diperpanjang. Namun keduanya tetap
‘ngotot’. “Itu adalah bayiku, seorang ibu selalu tau dan mengenal bayinya,”
ujar perempuan muda itu. “Tidak! Ini bayiku, bayimu telah tewas dimakan
serigala.” Timpal ibu yang lebih tua sambil mendekap sang bayi diiringi cucuran
air mata.
Nabi
Daud pun kesulitan menangani dua wanita Bani Israil yang keras kepala tersbut,
sementara tak ada satu saksi pun yang mengetahui bayi siapa sebenarnya yang
selamat. Sang wanita tua kembali menceritakan kronologis peristiwa dengan rinci
dan meyakinkan diiringi deraian air mata. Nabi Daud pun tersentuh hatinya,
hampir saja ia menyerahkan bayi itu kepadanya, dan berdoa kepada Allah agar ibu
muda itu akan segera mendapatkan anak, karena kesempatan melahirkan baginya
lebih besar, yang tidak dimiliki ibu yang lebih tua itu.
Saat
itulah putra mahkota, Sulaiman tampil, mencoba membantu sang ayah yang galau
dalam memutuskan perkara rumit di atas. Dalam persidangan yang disaksikan
rakyat banyak itu, tersentak dengan ulah sang putra mahkota, dengan meminta
sebilah pedang. “Ambilkan aku pedang untuk membelah dua bayi ini untuk kalian
berdua!” ujar Sulaiman as.
Bayi
pun diletakkan di atas meja, dan Sulaiman bersiap untuk membelah bayi itu
menjadi dua belah sama rata. Hadirin tak habis pikir, bagaimana mungkin putra
mahkota melakukan perbuatan sekonyol itu yang akan membunuh sang bayi tak
bedosa. Pada waktu bersamaan, sontak sang ibu muda berteriak, “Tidak! Jangan,
tolong jangan lakukan itu. Kau akan membunuhnya. Oh rajaku. Berikan saja bayi
itu padanya,” teriak sang ibu dengan deraian air mata.
Akting
Nabi Sulaiman pun berakhir. Tentu saja ia tak akan membelah bayi itu. Beliau
pun memberikan bayi itu kepada sang ibu muda yang lebih rela memberikan sang
bayi kepada ibu lain asalkan anaknya dapat hidup. Sementara ibu yang lebih tua,
rela dan setuju saja jika memang Sulaiman benar-benar membelahnya. Keputuhan
Nabi Sulaiman itu membuat girang sang Ibu muda, para hadirin sangat puas dan
tersenyum melihat kepiawaian sang putra mahkota dalam memutuskan perkara.
Masih
terkait Nabi Sulaiman, kali ini beliau mengatasi sengketa peternak versus
petani, kasus ini mendapat perhatian dan pujian khusus dari Allah, sebagaimana
disebut dalam Alquran (21:78). “Ingatlah
kisah [Nabi] Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. Adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.”
Dalam
menafsirkan ayat di atas, menurut Ibnu Abbas, sekelompok kambing milik seorang
peternak telah merusak tanaman seorang petani saat malam hari. Sang petani
kemudian mengadukan peristiwa tersebut kepada Nabi Daud. Keputusan yang dipilih
adalah, kambing-kambing milik peternak tersebut harus diserahkan semuanya
kepada sang petani sebagai ganti rugi tanaman yang rusak.
Namun
putranya beda pendapat, Sulaiman berpendapat bahwa kambing-kambing sang
peternak diserahkan kepada petani hanya sementara waktu untuk dimanfaatkan,
termasuk mengambil susunya. Sang peternak wajib mengganti tanaman petani dengan
yang baru. Jika tanaman tersebut telah segar kembali, sang peternak dibolehkan
mengambil kambingnya kembali.
Nabi
Daud kembali berdecak kagum melihat ketangkasan putranya dalam memecahkan
masalah yang begitu rumit. Kali ini, ia sudah tak ragu-ragu lagi untuk
mendaulat putranya sebagai calon pengganti tunggalnya, dan kini rakyat Bani
Israil tak lagi galau dan sibuk membincangkan soal suksesor sang raja yang
telah uzur.
Pada
awalnya, Sulaiman as juga sempat dilanda galau, karena kerajaan Bani Israil –di
Yerussalem—yang dipimpin sang ayah, Nabi
Daud, bukanlah kerajaan kecil dan tidak mudah mengatur manusia-manusia yang
terkenal pintar, pembangkang, keras kepala, dan suka buat onar itu. Di samping
baru menginjak umur 13 tahun, beliau juga merasa tak akan mampu berbuat adil
sebagaimana ayahnya.
Suatu
malam, Nabi sulaiman bermimpi –mendapat wahyu—dari Allah, dalam mimpinya, Allah
berfirman, “Mintalah, apa pun yang kau harapkan dariku, Aku akan berikannya
untukmu!” Bagi banyak orang, mungkin akan meminta kekuasaan, umur panjang,
harta melimpah, atau istri cantik. Namun
Sulaiman tidak demikian. Malah ia
berdoa, “Saya hanya minta satu hal. Mohon beri saya hati yang dipenuhi dengan
kebijaksanaan, untuk dapat melihat mana yang benar dan mana yang salah, dapat membedakan
antara yang baik dan buruk.” Allah pun mengabulkan doanya, kepadanya
dilimpahkan kebijaksanaan. Tak akan pernah ada raja sebijak dan seagung
dirinya, lebih dari itu, beliau dianugrahi ilmu, umur panjang, kekayaan dan
kekuasaan.
Kisah
peradilan kedua ibu yang bersengketa, serta petani vs peternak menjadi
pelajaran penting bagi kita semua. Bahwa memutuskan sebuah perkara tidak mesti
selalu bersandar pada undang-undang buatan manusia dan logika. Namun lebih
daripada itu, seorang pemimpin harus jeli dan memiliki firasat yang tajam. Inilah
disebut ‘hikmah’ yang bisa diperoleh siapa saja dengan cara selalu mengasah
mata batin lewat ritual yang telah disyariatkan, terutama konsisten dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Saat
ini, pintu kenabian sudah tertutup pasca diutusnya Nabi Muhammad sebagai rasul
pamungkas, tapi kisah para nabi yang lain
tetap aktual untuk kita ambil pelajaran ‘ibrah’. Sungguh, dalam kisah para
rasul itu terdapat ‘pelajaran’ bagi orang yang berfikir, ‘Laqad kana fi
qashoshihim ‘ibratul li ulil albab’ (QS. 12:111).
Kita
berharap agar pilgub kali ini akan menghasilkan pemimpin yang dapat menjadi
problem solver bukan selalu menjadi bagian dari masalah, bersih dari KKN bukan
sibuk menuding orang lain korupsi namun menjadikan pemerintahan seperti kapal
yang hanya mengangkut dan mengurus para keluarga dan tim suksesnya, dan sebisa
mungkin dapat menjadi imam yang dapat dituruti di dalam maupun di luar masjid.
Dalam
sutuasi seperti sekarang ini, dimana rakyat Sulsel dihadapkan pada suksesi
kepemimpinan satu priode mendatang. Kita semua berharap agar bisa mendapatkan
pemimpin yang bijak sana-sini, bisa menjadi imam yang adil, menjadi contoh
dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Last but not
least, seorang pemimpin harus selalu menjadi pionner dalam amar ma’ruf
dan nahi mungkar, kerena begitulah pemimpin yang berkarakter nabi. Wallahu
a’lam!
Ilham
Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur.
Comments